NASIONALISME SEBAGAI BERHALA DI BUMI INDONESIA

(Gambar: diambil dari SS Line Shop)

Tulisan ini awalnya ditujukan untuk menjawab beberapa pertanyaan yang diajukan Mas Rendi sebagai pemenuhan Ujian Akhir Semester Mata Kuliah Komunikasi dan Multikultural. Tulisan ini merupakan ringkasan terhadap beberapa pertanyaan berikut:  Apa itu nasionalisme dan mengapa perlu? Apa urgensinya memperjuangkan nasionalisme pada konteks kekinian? Apakah sungguh ada pentingnya nasionalisme itu?

Sebelum penulis berbicara tentang apakah nasionalisme itu urgen atau apakah relevan di era kekinian, harus terlebih dahulu dikatakan bahwa kesalahan pertama (jika tidak mau dikatakan paling utama) tentang paradigma kita terhadap nasionalisme adalah sebagai dogma yang tidak boleh tersentuh nalar kritis. Nasionalisme seakan menjadi diskursus yang tertutup untuk diperdebatkan, padahal nasionalisme, paling tidak menurut penulis, adalah gagasan biasa saja. Dia patut untuk diperiksa dan dievaluasi ulang. Namun jargon-jargon semacam “NKRI Harga Mati!”, “72 Tahun bekerja”, “Saya Indonesia”, “Saya Pancasila”, dan seterusnya menambahkan beban bagi kita untuk kembali mengorek atau sekedar mendebat nasionalisme itu sendiri, kecuali kalau kita mau dicap sebagai anti nasionalisme atau anti NKRI.

Apalagi, dewasa ini ada konstruksi dikotomi yang membela bangsa ini menjadi dua kubu besar, yaitu kubu nasionalisme VS kubu Islam. Seakan-akan kalau Anda nasionalisme, maka Anda dicap tidak Islam dan nanti masuk neraka. Sebaliknya, jika Anda meneguhkan identitas keagamaan Anda, maka anda bisa-bisa dianggap anti kebhinekaan dan nasionalisme. Mengutip pernyataan Rocky Gerung di dalam salah satu televisi swasta, jargon semacam penguatan identitas kebangsaan hari ini seakan memberikan kesan bahwa, “Saya nasionalis, dan Anda fundamentalis”.

(Baca: BENTURAN DUA TA’ASHUB (FANATISME): SEBUAH CATATAN AKHIR TAHUN )

Penulis perlu memaparkan hal tersebut terlebih dahulu sebelum menyampaikan gagasan penulis tentang apakah nasionalisme itu relevan atau tidak untuk hari ini. Sebab, pewacanaan atas pengukuhan nasionalisme sebagai dogma yang tidak terbantah harus dibongkar terlebih dahulu guna bisa memasukinya sebagai diskursus secara akal sehat.

Baik, kita mulai dengan bagaimana penulis mendudukkan pemahaman tentang nasionalisme terlebih dahulu, sebelum melangkah lebih jauh menelisik bagaimana pendapat penulis terhadap relevansi memperbincangkan nasionalisme hari ini dengan berbagai persoalan yang mengitarinya.

Nasionalisme sebagai Proyek Masa Depan

Benedict Anderson menyatakan bahwa nasionalisme pada dasarnya adalah “imagined community that are created”. Artinya, nasionalisme atau kebangsaan yang dipahami dewasa ini pada dasarnya diciptakan melalui pembentukan komunitas politik yang dibayangkan. Disebut dibayangkan karena masing-masing para penduduk komunitas politik tersebut tidak saling mengenal dan bertemu secara keseluruhan, namun mereka meyakini terikat pada satu kesamaan komunitas politik tertentu (Anderson 2006). Nasionalisme bisa terbentuk mencakup banyak kelompok etnis, namun komunitas kebangsaan atau nasionalisme dapat mengikat berbagai masyarakat secara bersama. Ikatan-ikatan nasionalisme yang berisi berbagai macam etnis dan kebudayaan tersebut dapat terwujud melalui penciptaan rekayasa-rekaya simbol-simbol kebangsaan, sebagaimana lambang negara, bendera kebangsaan, lagu nasional, tokoh nasional dan seterusnya.

Dalam bukunya yang lain, Nasionalisme Indonesia Kini dan di Masa Depan (2010), Benedict Anderson menitikberatkan bahwa penyebab kemunculan nasionalisme di atau di dalam suatu wilayah dimana para penduduknya mulai merasa memiliki sebuah tujuan bersama, juga masa depan bersama. Maka, nasionalisme sebenarnya bukan semata-mata dipahami sebagai warisan nenek moyang yang perlu dipertahankan semata, namun sebuah proyek yang dibangun bersama untuk jangka waktu hari ini hingga masa depan. Selain itu, perekat dari nasionalisme tersebut disebabkan oleh ikatan perasaan yang mendalam antar warga negara. Selanjutnya, perasaan mendalam terhadap identitas nasionalisme tersebut akan senantiasa terjaga antar generasi ke generasi berikutnya secara cepat dan seperti terkesan alamiah (Anderson, 2010).

Anderson memberikan penjelasan lebih panjang kemudian mengapa nasionalisme bisa menyebabkan perasaan mendalam terhadap persatuan berbagai variasi kebudayaan yang beragam di Indonesia, serta lebih penting lagi menjadi semangat persatuan untuk kesamaan masa depan. Pada abad awal abad 20, bermunculan berbagai organisasi seperti Jong Java, Indonesia Muda, Jong Islamietenbond (Liga Muslim Muda), Jong Minahasa, dan sebagainya. Tidak ada yang kemudian menamai organisasi kedaeraan yang berbasis pemuda tersebut dengan nama-nama yang etnosentris, seperti Jawa Tua, Bali Abadi dan seterusnya. Dari organisasi-organisasi tersebut, Benedict Anderson menangkap bahwa, mereka “menggunakan identitas kedaerahan mereka bukan atas nama nasionalisme local yang separatis, namun sebagai penanda akan komitmen kedaerahan mereka terhadap kebersamaan sesame koloni dan proyek bersama untuk pembebasan” (Anderson, 2010:6). Mereka sama-sama menihilkan sisi gelap sejarah seperti bagaimana raja Aceh pernah menjajah masyarakat Minangkabau, raja Bugis memperbudak orang Toraja, bangsawan-bangsawan Jawa pernah ingin menaklukan dataran tinggi Sunda dan seterusnya.

Berangkat dari penjelasan tersebut, penulis menitikberatkan pemaknaan nasionalisme di Indonesia bukan semata sebagai gagasan sakral atau semacam dogma yang senantiasa harus digaungkan terus-menerus, namun sebagai kesepakatan akan proyek dan masa depan Indonesia dengan meleburkan egoisme pribadi, kesukuan, agama dan seterusnya. Hal yang paling kongkrit yang telah dicapai melalui semangat nasionalisme adalah perjuangan mencapai kemerdekaan dari belenggu kolonialisme. Selain itu, nasionalisme telah merekatkan identitas kebersamaan dengan terwujudnya Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Menelisik dari pernyataan di atas, pada dasarnya nasionalisme itu penting dan penulis setuju dengan nasionalisme! Dengan catatan, nasionalisme disini penulis dudukkan sebagai sebuah proyek bersama untuk masa depan Indonesia. Sehingga untuk mengukur apakah kemudian nasionalisme di era kekinian masih relevan atau tidak, penulis akan kembali pada pemahaman awal nasionalisme sebagai proyek bersama bangsa Indonesia.

Nasionalisme di Era Kekinian

Kembali pada nasionalisme yang harusnya dipahami sebagai tolak ukur kerja pemerintah dalam merealisasikan proyek bersama tersebut, bukan sebagai alat politik untuk menyikat lawan-lawan politiknya. Contoh paling kentara dalam hal ini bagaimana pemerintah era Orde Baru menggunakan instrumen berupa simbol-simbol identitas kenegaraan, tepatnya Pancasila, untuk membungkam lawan politik dan menjaga stabilitas politik terintegrasi. Nasionalisme itu tetap penting untuk diperjaungkan jika berkaitan dengan pemenuhan proyek bersama tersebut, namun pada realitasnya pemerintahnya sendiri melakukan penindasan dan penerapan tidak adil, maka nasionalisme harus perlu dikoreksi besar-besaran kembali.

Gelombang kerusuhan seperti anti-Cina di Jakarta, Solo, Madiun, konflik antar Etnis Dayak dan Madura di Kalimantan, konflik agama di Maluku, yang paling populer adalah gerakan separatism di Aceh dan Papua, serta yang paling baru adalah gerakan Islam “fundamentalisme” yang ingin mendirikan negara berbasis Islam, entah di Indonesia sendiri atau cita-cita universalnya atas terwujudnya integrasi sistem politik khilafah internasional, dan berbagai aksi protes lainnya pasca reformasi selaras dengan apa yang dikatakan F. Budi Hardiman, fenomena-fenomena yang nampak tersebutbukan hanya menggambarkan bagaimana ancaman polietnis di Indonesia, namun juga ancaman terhadap eksistensi komunitas politik dari berbagai sudut (Hardimas, 2015:XV). Gejolak semacam gerakan separatis di Papua dan Aceh, serta Riau mungkin, untuk keluar dari Indonesia merupakan gerakan vertikal terhadap tuntutan keluarnya komunitas-komunitas kebudayaan tersebut ingin keluar dari komunitas politik. Tentu itu bukan hanya persoalan keluar dari semacam komunitas politik besar Indonesia, namun bagaimana tuntutan itu dapat dibaca sebagai kekecewaan yang mendalam dari kelompok particular di dalam komunitas politik yang telah menghianati proyek bersama bernama nasionalisme tersebut.

Akhirnya, bagi penulis, nasionalisme itu tidak penting dan tidak relevan lagi diperbincangkan, ketika yang ada hanya pemaknaan kita terhadap nasionalisme sekedar pembatisan terhadap simbol-simbol yang merupakan hasil dari konstruksi terhadap negara bangsa. Dia akan relevan dan tetap menjadi penting ketika kita kaitkan nasionalisme sebagai pemenuhan janji-janji dari proyek besar terhadap nasionalisme.

Jika dihubungkan dengan fenomena politik keagamaan belakangan ini, entah aksi demonstrasi serial yang memenuhi atmosfir politik Pilkada Jakarta hingga reuni 212 yang barusan diselenggarakan, jangan senantiasa mengkaitkan gerakan seperti itu dengan tudingan-tudingan profokatif semacam berbau politik dan seterusnya untuk meredam gejolak tersebut. Hal ini akan semakin membuat pertarungan identitas nasionalisme versus Islam semakin mengangah.

Berkenaan dengan melemahnya nasionalisme sebagai pengikat proyek jangka panjang bangsa Indonesia, munculnya organisasi yang kembali mengemukakan perdebatan hubungan agama dan negara di Indonesia, dan bahkan menawarkan alternatif dimana agama mengambil kendali atas kehidupan sosial politik, harusnya bukan hanya dibaca sebagai ancaman terhadap nasionalisme semata, tapi juga sebagai koreksi terhadap bekerjasanya nasionalisme sebagai gagasan dan proyek bersama. Itu adalah letupan dari kekecewaan melihat realitas Indonesia yang tak kunjung membaik pasca reformasi.

Hal yang ingin penulis singgung juga terkait dinamika politik keagamaan yang hari mencuat dalam debat politik, penulis melayangkan kritikan terhadap upaya yang dilakukan penulis yang terkesan melakukan usaha-usaha bias dengan cara yang terkesan “hypernasionalisme”, meminjam istilah Vedy Hadiz. Hiper-nasionalisme, menurut Vedi Hadiz, ditandai dengan kembalinya diskursus orde baru melalui Pancasila dan stabilitas nasional dengan negara terintegrasi (nasional.tempo.co). Bagaimana pola kerja sistem politik dalam merealisasikan konsep hiper-nasionalisme dapat mudah dilacak dengan mengamati kebijakan-kebijakan penyeragaman di era Soeharto. Banyak contoh yang bisa dikemukan tentang kebijakan penyeragaman ala rezim militer ini yang akhirnya tidak memberikan ruang bagi perbedaan. Sebagaimana di era rezim hari ini, identitas semacam nasionalisme dipergunakan untuk meredam aksi masa politik identitas yang berkembang.

Jika yang semakin menguat adalah upaya penetrasi nasionalisme atau bahkan hypernasionalisme yang menutup ruang bagi keberagaman partikular yang ada di Indonesia, maka perbincangan tentang nasionalisme yang menghegemoni tidak perlu lagi untuk diteruskan. Dan, sikap pemerintah hari ini semakin memperburuk pikiran penulis terhadap nasionalisme.

 

DAFTAR PUSTAKA

Buku

  1. Anderson, Benedict. 2006. Imagined Communities: Reflection on the Origin and Spread of Nationalism. London: British Library.
  2. ­_________________2010. Nasionalisme Indonesia Kini dan di Masa Depan. Terjemahan dari “Nationalism Today and in the Future” dari New Left Review I/235 May-Juny 1999.
  3. Hardiman, F. Budi. 2015. Pengantar: Belajar dari Politik Multikultural. Dalam (Terj.) Kymlica, Will. Kewargaan Multikultural. Jakarta: LP3ES. Hal. XV

Internet

  1. http://nasional.tempo.co/read/909736/vedi-hadiz-oligarki-kendalikan-konservatisme-islam-di-indonesia. (Diakses tanggal 12 Desember, pukul 20.21 WIB).